Blogger Themes

News Update :

Blogger Tricks

Popular Posts

Moto GP News

Basketball News

Formula 1 News

Teori Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov

Jumat, 15 Juni 2012

Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia.  Ia menemukan Classical Conditioning di dekade 1890-an.  Namun karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat, bukunya dalam edisi bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the Physiological Activity of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya disebut klasik karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru.  Ada pula yang menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau refleks karena latihan, untuk membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya Skinner.
a.  Percobaan Pavlov
Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning ditemukan secara kebetulan oleh Pavlov di dekade 1890-an.  Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan anjing eksperimen dan mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di waktu makan.  Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama beberapa kali, ternyata mulai mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan.  Pavlov menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur.  Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama.  Misalkan seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi lonceng.  Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut.  Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian.
b.  Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov
Menindaklanjuti temuannya sebelumnya, Pavlov dan koleganya berhasil mengidentifikasi empat proses: acquisition (akuisisi/fase dengan pengkondisian), extinction (eliminasi/fase tanpa pengkondisian), generalization (generalisasi), dan discrimination (diskriminasi).
  1. 1.      Fase Akuisisi
Fase akuisisi merupakan fase belajar permulaan dari respons kondisi-sebagai contoh, anjing ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena pengkondisian suara lonceng.  Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi.  Faktor yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat ketika stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan respons yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus kondisi dengan stimulus utama.  Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama-sebagai contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi-conditioning jarang terjadi.
  1. 2.      Fase Eliminasi
Sekali telah dipelajari, suatu respons dengan kondisi tidaklah diperlukan secara permanen.  Istilah extinction (eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons kondisi dengan mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa stimulus utama.  Jika seekor anjing telah ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng, peneliti dapat secara berangsur-angsur menghilangkan stimulus utama dengan mengulang-ulang bunyi lonceng tanpa memberikan makanan sesudahnya.
  1. 3.      Generalisasi
Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu stimulus, ada kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan.  Jika seorang anak digigit oleh seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut kepada anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar.  Fenomena ini disebut generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang terhadap anjing yang lebih kecil.
  1. 4.      Diskriminasi
Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi, yaitu ketika seorang individu belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang sama namun kondisinya berbeda.  Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa tidak takut ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.
Contoh penerapanya yaitu ketika setiap 10 menit menjelang jam mata pelajaran habis siswa akan diberikan pertanyaan-pertanyaan mengenai pembelajaran yang telah dilakukan  dimana bagi siswa yang mampu menjawab dan menyelesaikan tugas yang diberikan akan diberikan kesempatan pulang lebih awal/atau akan mendapatkan tambahan point nilai, hal ini dilakukan terus menerus sehingga, ketika reward itu tidak lagi diberikan siswa sudah terbiasa menjawab pertanyaan/tugas yang diberikan guru.
Ketika menanamkan sebuah konsep contohnya penjumlahan kepada siswa kelas rendah, guru memberikan stimulus berupa gambar-gambar konkrik seperti buku dan pena atau jari dalam pembelajaran penjumlahan, lama-kelamaan pengunaan media tersebut dikurangi, walaupun penggunaan media konkrik itu dikurangi atau ditiadakan siswa tetap dapat memahami/mengerti tentang pembelajaran tsb.



Sumber: http://mukhliscaniago.wordpress.com/2012/05/04/teori-ivan-pavlov/

Edward L. Thorndike

Edward L. Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan Law of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon murid terhadap stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akibat anak mendapatkan pujian atau ganjaran lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah anak berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.

Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect). Hukum kesiapan menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan. Seorang anak mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-tindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan kepuasan dirinya. Seorang anak mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian bertindak, sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi dirinya, akan selalu menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang melahirkan ketidakpuasan itu.

Hukum latihan menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat. Sedangkan makin jarang hubungan stimulus respon dipergunakan, maka makin lemahnya hubungan terjadi. Hukum latihan pada dasarnya menggunakan bahwa stimulus dan respon akan memiliki hubungan satu sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak yang dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya akan segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya. Kenyataan menunjukkan bahwa pengulangan yang akan memberikan dampak positif adalah pengulangan frekuensi teratur, bentuk pengulangannya yang tidak membosankan, dan kegiatan disajikan dengan cara yang menarik.
Dalam hukum akibat dapat disimpulkan bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak, dan anak cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu. Guru yang memberikan senyuman wajar terhadap jawaban anak, akan semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri anak. Kata-kata ”Bagus”, ”Hebat”, ”Kamu sangat teliti” dan semacamnya akan merupakan hadiah bagi anak yang kelak akan meningkatkan dirinya dalam menguasai pelajaran.

Sebaliknya guru juga harus tanggap terhadap respon anak yang salah. Jika kekeliruan anak dibiarkan tanpa penjelasan yang benar dari guru, ada kemungkinan anak akan menganggap benar dan kemudian mengulanginya. Anak yang menyelesaikan tugas atau pekerjaan rumah, namun hasil kerjanya itu tidak diperiksa oleh gurunya, ada kemungkinan beranggapan bahwa jawaban yang dia berikan adalah benar. Angapan ini akan mengakibatkan jawaban yang telah salah di saat anak mengikuti tes.

Demikian pula anak yang telah mengikuti ulangan dan mendapat nilai jelek, perlu diberitahukan kekeliruan yang dilakukannya pada saat melakukan tes. Tidaklah mengherankan, kiranya, jika ada anak yang diberi tes berulang, namun hasilnya masih tetap buruk. Ada kemungkinan konsep yang dipegangnya itu dianggap sebagai jawaban yang benar. Penguatan seperti ini akan sangat merugikan anak. Oleh karena itu perlu dihilangkan.

Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa jika terdapat asosiasi yang kuat antara pertanyaan dan jawaban, maka bahan yang disajikan akan tertanam lebih lama dalam ingatan anak. Selain itu banyaknya pengulangan akan sangat menentukan lamanya konsep diingat anak. Makin sering pengulangan dilakukan akan semakin kuat konsep tertanam dalam ingatan anak.

Disamping itu Thorndike, mengemukakan pula bahwa kualitas dan kuantitas hasil belajar siswa tergantung dari kualitas dan kuantitas Stimulus-Respon (S-R) dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Makin banyak dan makin baik kualitas S-R itu (yang diberikan guru) makin banyaknya dan makin baik pula hasil belajar siswa.

Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah bahwa:
a) Dalam menjelaskan suatu konsep tertentu, guru sebaiknya mengambil contoh yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati.
b) Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih cocok. Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respons yang diberikan pun akan lebih banyak.
c) Dalam kurikulum, materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar sesuai dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih mudah sebagai akibat untuk mengauasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat memahami topik berikutnya.
 
 
Sumber: http://sujinalarifin.wordpress.com/teori-teori-pembelajaran-matematika-menurut-aliran-psikologi-gestalt/

Sejarah Teknologi Pendidikan

Rabu, 30 Mei 2012

Definisi awal Teknologi Pendidikan dipandang sebagai media

Teknologi Pendidikan adalah suatu cara yang sistematis dalam mendesain, melaksanakan, dan mengealuasi proses keseluruhan dari belajar dan pembelajaran dalam betuk tujuan pembelajaran yang spesifik, berdasarkan penelitian dalam teori belajar dan komunikasi pada manusia dan menggunakan kombinasi sumber-sumber belajar dari manusia maupun non manusia untuk membuat pembelajaran lebih efektif.

Definisi teknologi pendidikan pada awal tahun 1920 dipandang sebagai media. Akar terbentuknya pandangan ini terjadi ketika pertama kali diproduksi media pendidikan pada awal abad dua puluhan. Media ini, sebagai media pembelajaran visual yang berupa film, gambar dan tampilan yang mulai ramai pada tahun 1920. definisi formal pembelajaran visual terfokus pada media yang digunakan untuk menampilkan sebuah pelajaran. Pandangan ini berlanjut sampai 1950.

Tahun 1960 dan 1970 Teknologi Pendidikan diapandang sebagai suatu proses.

Awal tahun 1950, khususnya selama tahun 1960 dan 1970 sejumlah ahli dalam bidang pendidikan mulai mendiskusiakan teknologi pendidikan dalam suatu yang berbeda. Mereka membahasnya sebagai suatu proses. Contohnya Finn (1960) mengatakan bahwa teknologi pendidikan harus dipandang sebagai suatu cara untuk melihat masalah pendidikan dan mneguji kemungkinan solusi dari masalah tersebut. Sedangkan Lumsdaine (1964) mengatakan bahwa teknologi pendidikan dapat dijadikan aplikasi ilmu pengetahuan pada praktek pendidikan. Pada tahun 1960an dan 1970 banayak definisi teknologi pendidikan yang dipandang sebagai suatu proses.

Definisi 1963

Di tahun 1963, definisi teknologi pendidikan digambarkan bukan hanya sebagai sebuah media. Definisi ini (Ey, 1963) menghasilkan dengan suatu komisi pengawas yang dibentuk olep Departemen Pendidikan Audiovisual (sekarang dikenal sebagai Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan). Hal ini merupakan suatu hal yang berangkat dari pandangan “tradisional” terhadap teknologi pendidikan. Definisi kini lebih memusat pada desain pembelajaran dan penggunaan media sebagai pengendalian proses belajar (p. 38). Lebih dari itu pengertian kini lebih menganali serangkaian langkah-langkah penerapan, perancangan, dan penggunaan. Langkah-langkah ini mencakup perencanaan, produksi, pemilihan, pemanfaatan, dan manajemen. Perubahan disini mencerminkan bahwa, bagaimana lingkungan dan kemajuan zaman dapat mengubah sebuah definisi dan praktek dari teknologi pendidikan.

Definisi 1970

Definisi selanjutnya merupakan definisi tahun 1970-an yang dikeluarkan oleh Komisi Pengawas Teknologi Pendidikan. Komisi pengawas ini dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menguji permasalahan dan manfaat potensial yang berhubungan dengan teknologi pendidikan di sekolah-sekolah.

Teknologi pendidikan adalah suatu cara yang sistematis dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi proses keseluruhan dari belajar dan pembelajaran dalam bentuk tujuan pembelajaran yang spesifik, berdasarkan penelitian dalam teori belajar dan komunikasi pada manusia dan mengunakan kombinasi sumber-sumber belajar dari manusia maupun non manusia untuk membuat pembelajaran lebih efektif.

Jadi menurut konsep ini tujuan utama teknologi pembelajaran adalah membuat agar suatu pembelajaran lebih efektif. Bagaimana hal itu dilakukan? Dengan cara mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi secara sistematis berdasarkan teori komunikasi dan belajar tentunya, serta memanfaatkan segala sumber baik yang bersifat manusia maupun non manusia, dengan demikian, sejak tahun 1970an, sudah ada pandangan bahwa manusia (dalam hal ini guru) bukanlah satu-satunya sumber belajar.

Definisi 1977

Teknologi Pendidikan adalah proses kompleks yang terintegerasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana dan organisasi untuk menganalisa masalah dan merancang. Melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar manusia. 



Sumber: http://sutowijoyo.tripod.com/teknologipendidikan/id3.html

AECT 1994

Teknologi pendidikan (AECT, 1994) adalah teori dan praktek dalam desain pengembangan,  pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi proses dan sumber untuk belajar.

Dalam definisi ini dijelaskan bahwa teknologi pendidikan terbagi dalam lima kawasan, yaitu: desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan evaluasi. Tiap kawasan dari bidang memberikan sumbangan pada teori dan praktek yang menjadi landasan profesi. Tiap kawasan berdiri sendiri meskipun salin berkaitan. Antara kawasan tersebut tidak terdapat hubungan yang linier. Hubungan tersebut tergambar dalam bagan berikut.

A.    Kawasan desain
Dalam hal tertentu, kawasan desain mempunyai asal-usul dari gerakan psikologi pembelajaran. Beberapa faktor pemicunya adalah: 1) artikel tahun 1954 dari B.F. Skinner "The Science of Learning and theArt   of   Teaching"   disertai   teorinya   tentang   pembelajaran berprogram; 2) buku tahun 1969 dari Herbert Simon "The Science of ial" yang membahas karakteristik umum dari pengetahuan prespektif tentang desain; dan 3) pendirian pusat-pusat desain bahan pelajaran dan terprogram, seperti "Learning Resouce and opment Center" di Universitas Pittsburgh pada tahun 1960an. kurun waktu tahun 1960an dan 1970an Robert Glaser, direktur dari pusat tersebut, menulis dan berbicara tentang desain pembelajaran sebagai inti dari teknologi pendidikan (Glaser, 1976). Banyak landasan psikologi pembelajaran dari kawasan desain berkembang dari asosiasi dengan Pittsburgh ini. Hal ini bukan hanya karena Pittsburg pakan tempat tinggal Simon, Glaser dan Pusat Pengembangan, tetapi juga karena makalah Skinner yang berpengaruh tersebut di atas dipresentasikan pertama kali di Pittsburgh sebelum kemudian dipublikasikan pada tahun tersebut (Spencer, 1988).
Desain adalah proses untuk menentukan kondisi belajar. Tujuan desain ialah untuk menciptakan strategi dan produk pada tingkat makro.  seperti program dan kurikulum, dan pada tingkat mikro, seperti pelajaran dan modul. Definisi ini sesuai dengan definisi desain sekarang yang mengacu pada penentuan spesifikasi (Ellington dan Harris, 1986; Reigeluth, 1983; Richey, 1986). Berbeda dengan definisi terdahulu definisi ini lebih menekankan pada kondisi belajar bukarinya pada komponen-komponen dalam suatu sistem pembelajaran (Wellington, etal.1970). Jadi, ruang lingkup desain pembelajaran telah diperluas dan sumber belajar atau komponen individual sistem ke pertimbangan maupun lingkungan yang sistemik. Tessmer (1990) telah mehganalisis faktor-faktor, pertanyaan-pertanyaan serta alat-alat yang digunakan untuk mendesain lingkungan.
Kawasan desain paling tidak meliputi empat cakupan utama dari teori dan praktek. Cakupan ini dapat diidentifikasi karena masuk dalam lingkup pengembangan penelitian dan teori. Kawasan desain meliputi: (1)desain sistem pembelajaran; (2) desain pesan; (3) strategi pembelajaran dan (4) karakteristik pebelajar. Definisi dan deskripsi dari masing-masing daerah liputan tersebut adalah sebagai berikut.

1.    Desain Sistem Pembelajaran.
Desain Sistem Pembelajaran (DSI) adalah prosedur yang terorganisasi yang meliputi langkah-langkah penganalisaan, perancangan, pengembangan, pengaplikasian dan penilaianan pembelajaran. Kata "desain" mempunyaipengertian tingkat makro maupun mikro karena merujuk padapendekatan sistem maupun langkah-langkah dalam pendekatan sistem. Setiap langkah dalam proses mempunyai landasan teori dan praktek sendiri seperti halnya pada semua proses DSI. Dalam istilah yang sederhana, penganalisaan adalah proses perumusan apa yang akan dipelajari; perancangan adalah proses penjabaran bagaimana caranya hal tersebut akan dipelajari; pengembangan adalah proses penulisan dan pembuatan atau produksi bahan-bahan pembelajaran; pelaksanaan adalah pemanfaatan bahan dan strategi yang bersangkutan, dan penilaian adalah proses penentuan ketepatan pembelajaran. DSI biasanya merupakan suatu prosedur linier dan interaktif yang menuntut kecermatan dan kemantapan. Karakteristik dari proses ini yalah bahwa semua langkah harus tuntas agar dapat berfungsi sebagai alat untuk saling mengontrol. Dalam DSI, proses sama pentingnya dengan produk sebab kepercayaan atas produk berlandaskan pada proses.
2.    Desain Pesan.
Desain pesan meliputi "perencanaan untuk merekayasa bentuk fisik dari pesan" (Grabowski, 1991 : 206). Hal tersebut mencakup prinsip-prinsip perhatian, persepsi dan daya serap yang mengatur penjabaran bentuk fisik dari pesan agar terjadi komunikasi antara pengirim dan penerima. Fleming and Levie (1993) membatasi pesan pada pola-pola isyarat atau simbol yang memodifikasi perilaku kognitif. afektif dan psikomotor. Desain pesan berurusan dengan tingkat paling mikro melalui unit-unit kecil seperti bahan visual, urutan, halaman dan layar secara terpisah. Karakteristik lain dari desain pesan ialah bahwa desain harus bersifat spesifik baik terhadap medianya maupun tugas belajarnya. Hal ini mengandung arti bahwa prinsip-prinsip desain pesan akan berbeda tergantung pada apakah medianya bersifat statis, dinamis atau kombinasi dari keduanya (misalnva, suatu potret, film, atau grafik komputer). Juga apakah tugas tersebut meliputi pembentukan konsep atau sikap, pengembangan keterampilan atau strategi belajar, atau hafalan (Fleming, 1987; Fleming dan Levie, 1993).
3.    Strategi Pembelajaran.
Strategi Pembelajaran adalah spesifikasi untuk menyeleksi serta mengurutkan peristiwa belajar atau kegiatan pembelajaran dalam suatu pelajaran. Penelitian dalam Strategi Pembelajaran telah memberikan kontribusi terhadap pengetahuan tentang komponen pembelajaran. Seorang desainer menggunakan teori atau komponen strategi pembelajaran sebagai prinsip pembelajaran. Secara khas, strategi pembelajaran berinteraksi dengan situasi belajar. Situasi-situasi belajar ini sering dinyatakan dalam model-model pembelajaran. Model pembelajaran maupun strategi pembelajaran yang diperlukan untuk mengaplikasikannya berbeda-beda tergantung pada situasi belajar, sifat materi dan jenis belajar yang diinginkan (Joyce dan Weil, 1972; Merrill, Tennyson, dan Posey, 1992; Reigeluth, 1978a). Teori tentang strategi pembel­ajaran meliputi situasi belajar, seperti belajar induktif, serta kompo­nen dari proses belajar/mengajar, seperti motivasi dan elaborasi (Reigeluth, 1978b).
4.    Karakteristik Pebelajar.  
 Karakteristik pebelajar adalahzgi-segi latar belakang pengalaman pebelajar yang berpengaruh terhadap efektivitas proses belajarnya.   Penelitian mengenai karakteristik pebelajar sering tumpang tindih dengan penelitian strategi belajar, akan tetapi hal itu dilakukan dengan tujuan yang berbeda yaitu untuk menjelaskan segi-segi latar belakang pebelajar yang perlu diperhitungkan dalam desain.   Penelitian mengenai motivasi merupakan suatu contoh tumpang tindih tersebut. Lingkup strategi pembelajaran menggunakan penelitian tentang motivasi untuk menentukan desain komponen pembelajaran.   Lingkup karakteristik pebelajar menggunakan penelitian tentang motivasi untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang harus diperhitungkan dan untuk menentukan bagaimana caranya hal-hal tersebut harus diperhitungkan. Oleh sebab itu, karakteristik pebelajar mempengaruhi komponen pembelajaran yang diteliti dalam ruang lingkup strategi pembelajaran. Hal tersebut berinteraksi bukan saja dengan strategi tetapi juga dengan situasi atau konteks dan isi (Bloom, 1976; Richey, 1992).

B.    Kawasan pengembangan
Pengembangan adalah proses penterjemahan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik. Kawasan pengembangan mencakup banyak  variasi   teknologi  yang   digunakan  dalam  pembelajaran. Walaupun demikian, tidak berarti lepas dari teori dan praktek yang berhubungan dengan belajar dan desain. Tidak pula kawasan tersebut berfungsi bebas dari penilaian, pengelolaan atau pemanfaatan. Melainkan timbul karena dorongan teori dan desain dan harus tanggap terhadap tuntutan penilaian formatif dan praktek. Pemanfaatan serta kebutuhan pengelolaan. Begitu pula, kawasan pengembangan tidak hanya terdiri dari perangkat keras pembelajaran, melainkan juga mencakup perangkat lunaknya, bahan-bahan visual dan audio, serta program atau paket yang merupakan paduan berbagai bagian.
Di dalam kawasan pengembangan terdapat keterkaitan yang kompleks antara teknologi dan teori yang mendorong baik desain pesan maupun strategi pembelajaran. Pada dasarnya kawasan pengembangan dapat dijelaskan dengan adanya:
·    pesan yarig didorong oleh isi;
·    strategi pembelajaran yang didorong oleh teori; dan
·    manifestasi ilsik dari teknologi - perangkat keras, perangkat lunak dan bahan pembelajaran.
Ciri yang terakhir ini, yaitu teknologi. merupakan tenaga penggerak dari kawasan pengembangan. Berangkat dari asumsi ini, kita dapat merumuskan dan menjelaskan berbagai jenis media pembelajaran dan karakteristiknya. Akan tetapi, janganlah proses ini diartikan hanya sebagai suatu pengkategorisasian. Sebaliknya, sebagai elaborasi dari karakteristik prinsip-prinsip teori dan desain yang dimanfaatkan oleh teknologi.
Kawasan pengembangan dapat diorganisasikan dalam empat kategori: (1) teknologi cetak (yang menyediakan landasan untuk katego-ri yang lain), (2) teknologi audiovisual, (3) teknologi berbasis komputer, dan ( 4) teknologi terpadu. Karena kawasan pengembangan mencakup fungsi-fungsi desain, produksi, dan penyampaian, maka suatu bahan dapat didesain dengan menggunakan satu jenis teknologi, diproduksi dengan menggunakan yang lain, dan disampaikan dengan meng­gunakan yang lain lagi. Deskripsi masing-masing cakupan dari kawasan pengembangan sebagai berikut.
1.    Teknologi Cetak.
Teknologi cetak adalah cara untuk memproduksi atau menyampaikan bahan. seperti buku-buku dan bahan-bahan visual yang statis. terutama melalui proses pencetakan mekanis atau fotografis. Subkategori ini mencakup representasi dan produksi teks, grafis. dan fotografis. Bahan cetak dan bahan visual ggunakan teknologi yang paling dasar dan membekas. Teknologi menjadi dasar untuk pengembangan dan pemanfataan dari kebanyakan bahan pembelajaran lain. Hasil dari teknologi ini berupa cetakan. Teks dalam penampilan komputer adalah suatu contoh penggunaan teknologi komputer untuk produksi. Apabila teks tersebut tak dalam bentuk "cetakan" guna keperluan pembelajaran, ini merupakan contoh penyampaian dalam bentuk teknologi cetak.
Dua komponen teknologi ini adalah bahan teks verbal dan bahan visual. Pengembangan kedua jenis bahan pembelajaran tersebut sangat bergantung pada teori persepsi visual, teori membaca, pengolahan informasi oleh manusia, dan teori belajar. Bahan pembelajaran yang tertua dan masih lazim, terdapat dalam bentuk buku teks dimana impresi sensoris menggambarkan realita melalui ungkapan wahana linguistik dan bahan visual cetak. Efektivitas relatif dari berbagai derajat kenyataan yang berbeda ditiinjukkan oleh sejumlah teori yang saling bertentangan (Dwyer, 1972; 1978). Dalam bentuknya yang paling murni, media visual dapat membawakan pesan yang lengkap, akan tetapi pada kenyataannya tidaklah selalu demikan yang terjadi dalam kebanyakan proses pembelajaran. Sering, kombinasi informasi berupa teks dan visual perlu diberikan. Cara bagaimana informasi cetak dan visual diorganisasikan dapat sangat membantu terjadinya jenis belajar yang diinginkan. Pada tingkat yang paling dasar. buku teks yang sederhana dapat menyajikan informasi yang diorganisasikan secara berurutan, dan dengan sangat mudah dapat dilacak secara acak. Teknologi cetak yang lain seperti pembelajaran terprogram, dikembangkan berdasarkan ketentuan teoritis dan strategi pembelajaran yang lain. Secara khusus teknologi cetak/visual mempunyai karakteristik seperti berikut:
·    teks dibaca secara linier, sedangkan visual direkam menurut ruang;
·    keduanya biasanya memberikan   komunikasi satu arah yang pasif (hanya menerima);
·    keduanya berbentuk visual yang starts;
·    pengembangannya sangat tergantung kepada prinsip-prinsip linguistik dan persepsi visual;
·    keduanya berpusat pada Pebelajar; dan
·    informasi dapat diorganisasikan dan distrukturkan kembali oleh pemakai.
2.    Teknologi Audiovisual.
Teknologi audiovisual merupakan cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan peralatan mekanis dan elektronis untuk menyajikan pesan-pesan audio dan visual. Pembelajaran audiovisual dapat dikenal dengan mudah karena menggunakan perangkat keras di dalam proses pengajaran. Peralatan audiovisual memungkinkan pemroyeksian gambar hidup, pemutaran kembali suara, dan penayangan visual yang berukuran besar. Pembelajaran audiovisual didefinisikan sebagai produksi dan pemanfaatan bahan yang menyangkut pembelajaran melalui penglihatan dan pendengaran yang secara eksklusif tidak selalu harus tergantung kepada pemahaman kata-kata dan simbol-simbol sejenis. Secara khusus, teknologi audiovisual memproyeksikan bahan, seperti gambar hidup, pemutaran kembali suara, dan penayangan visual yang berukuran besar. Pembelajaran audiovisual didefinisikan sebagai produksi dan pemanfaatan bahan yang menyangkut pembelajaran melalui penglihatan dan pendengaran yang secara eksklusif tidak selalu harus tergantung kepada pemahaman kata-kata dan simbol-simbol sejenis. Secara khusus, teknologi audiovisual memproyeksikan bahan, seperti 11m, film bingkai dan transparansi. Akan tetapi, televisi merupakan suatu teknologi yang unik, karena dapat menjembatani teknologi audiovisual ke teknologi komputer dan teknologi terpadu. Video, manakala diproduksi dan disimpan sebagai pita video, jelas nerupakan audiovisual karena sifatnya yang linier dan biasanya dimaksudkan untuk memberikan presentasi secara ekspositori darpada iccara interaktif. Apabila informasi video direkam dalam cakram video (videodisc), maka informasi tersebut dapat diakses secara acak dan lebih menampilkan sifat-sifat teknologi komputer dan terpadu, yaitu tidak linier, dapat diakses secara acak dan dikendalikan oleh pebelajar. Secara khusus. teknologi audiovisual cenderung mempunyai karakteristik sebagai berikut:
·    bersifal linier;      
·    menampilkan visual yang dinamis;
·    secara khas digunakan menurut cara yang sebelumnya telah ditentukan oleh desainer/pengembang;
·    cenderung merupakan bentuk representasi fisik dari gagasan yang nil dan abstrak;
·    dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip psikologi tingkah laku dan kognitif; dan
·    sering berpusat pada guru, kurang memperhatikan interak-tivitas belajar Pebelajar.
3.    Teknologi berbasis Komputer.
Teknologi berbasis komputer nerupakan cara-cara memproduksi dan menyampaikan bahan iengan menggunakan perangkal yang bersumber pada mikro-jrosesor. Teknologi berbasis komputer dibedakan dari teknologi lain carena memimpan informasi secara elektronis dalam bentuk digital, jukannya sebagai bahan cetak atau visual. Pada dasamva, teknologi jerbasis komputer menampilkan informasi kepada pebelajar melalui :ayangan di layar monitor Berbagai jenis aplikasi komputer biasanya lisebut    "computer-based   instruction    (CBIJ,    computer-assisted instruction (CAI)" atau "computer-managed instruction (CMI)". Aplikasi-aplikasi ini hampir seluruhnya dikembangkan berdasarkan teori perilaku dan pembelajarah terprogram, akan tetapi sekarang lebili banyak berlandaskan pada teori kognitif. (Jonassen, 1988). Jelasnya, ke empat bentuk aplikasi tersebut dapat bersifat tutorial, di mana pembelajaran utama diberikan; latihan dan perulangan, untuk membantu Pebelajar mengembangkan kefasihan dalam bahan yang telah dipelajari sebelumnya; permainan dan simulasi, untuk member! kesempatan menggunakan pengetahuan yang baru dipelajari; dan sumber data yang memungkinkan pebelajar untuk mengakses sendiri susunan data yang banyak menggunakan tata-cara pengaksesan (protocol) data yang ditentukan secara ekstemal. Teknologi komputer, baik yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak, biasanya memiliki karakteristik seperti berikut ini:
digunakan    secara acak atau tidak benirutan, di samping secara linier;
dapat digunakan sesuai dehgan keingjnan Pebelajar, maupun menurut cara yang dirancang oleh desainer/pengembang;
gagasan-gagasan biasanya diungkapkan secara abstrak dengan menggunakan kata, simbol maupun grafis;
prinsip-prinsip   ilmu  kognitif diterapkan  selama  pengem-bangan; dan
belajar dapat berpusat pada pebelajar dengan tingkat inter-aktivitas yang tinggi.
4.    Teknologi Terpadu.
Teknologi terpadu merupakan cara untuk memproduksi dan menyampaikan bahan dengan memadukan beberapa jenis media yang dikendalikan komputer. Banyak orang percaya bahwa teknik yang paling rumit untuk pembelajaran melibatkan perpaduan beberapa jenis media di bawah kendali sebuah komputer. Komponen perangkat keras dari sistem yang terpadu ini dapat terdiri dari komputer berkemampuan sangat tinggi dengan memori besar yang dapat mengakses secara acak, sebuah "internal hard drive", dan sebuah monitor wama beresolusi tinggi. Peralatan periferal (pelengkap luar) komputer mencakup: alat pemutar video, alat penayangan tambahan, perangkat keras jaringan (networking), serta sistem audio. Perangkat lunak dari teknologi terpadu ini dapat berupa disket video, "compact disk", program jaringan, serta informasi digital.    Kesemuanya ini dapai dkendalikan   dalam suatu program belajar hipermedia yang dijalankan dengan menggunakan sistem thoring' seperti "HyperCard" atau "Toolbook?'. Keistimewaan yang ditampilkan oleh teknologi ini adanya interaktivitas pebelajar yang tinggi dengan berbagai macam sumber belajar.
Pembelajaran   dengan   teknologi   terpadu   ini   mempunyai karakteristik sebagai berikut:
dapat digunakan secara acak atau tidak berurutan, di samping secara linier;
dapat digunakan sesuai dengan keinginan Pebelajar, di samping menurut cara seperti yang dirancang oleh pengembangnya;
gagasan-gagasan sering disajikan secara realistik dalam konteks pengalaman Pebelajar, relevan dengan kondisi Pebelajar, dan di bawah kendali Pebelajar;
prinsip-prinsip ilmu kognitif dan 'konstruktivisme' diterapkan dalam pengeinbangan dan pemanfaatan bahan pembelajaran;
belajar dipusatkan dan diorganisasikan menurut pengetahuan kognitif sehingga pengetahuan terbentuk pada saat digunakan;
bahan belajar menunjukkan interaktivitas pebelajar yang tinggi:
sifat bahan yang mengintegrasikan kata-kata dan tamsil dari banyak sumber media.

C.    Kawasan pemanfaatan
Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan proses dan sumber untuk belajar. Mereka yang terlibat dalam pemanfaatan mem­punyai tanggung-jawab untuk mencocokkan pebelajar dengan bahan dan aktivitas yang spesifik, menyiapkan pebelajar agar dapat berinteraksi dengan bahan dan aktivitas yang dipilih, memberikan bimbingan selama kegiatan, memberikan penilaian atas hasil yang dicapai pebelajar, serta memasukkannya ke dalam prosedur organisasi yang berkelanjutan.
Fungsi pemanfaatan penting karena membicarakan kaitan pebelajar dengan bahan atau sistem pembelajaran. Jelas fungsi ini sangat kritis karena penggunaan oleh pebelajar merupakan satu-satunya raison d'etre dari bahan pembelajaran. Mengapa kita hams bersusah-payah dengan pengadaan dan pembuatan bahan apabila tidak akan digunakan ? Kawasan pemanfaatan ini mempunyai jangkauan aktivitas dan strategi mengajar yang luas.
Dengan demikian pemanfaatan menuntut adanya penggunaan, deseminasi. difusi, implementasi, dan pelembagaan yang sistematis. Hal tersebut dihambat oleh kebijakan dan peraturan. Fungsi peman­faatan penting karena fungsi ini memperjelas hubungan pebelajar dengan bahan dan sistem pembelajaran. K.e empat kategori dalam kawasan pemanfaatan ialah : (1) pemanfaatan media, (2) difusi inovasi, (3) implementasi dan institusionalisasi (pelembagaan), (4) serta kebijakan dan regulasi.
1.    Pemanfaatan Media.
Pemanfaatan media ialah penggunaan yang sistematis dari sumber untuk belajar. Proses pemanfaatan media merupakan proses pengambilan keputusan berdasarkan pada spesiflkasi desain pembelajaran. Misalnya, bagaimana suatu film diperkenalkan atau "ditindak lanjuti" dan dipolakan sesuai dengan bentuk belajar yang diinginkan. Prinsip-prinsip pemanfaatan juga dikaitkan dengan karakteristik pebelajar. Seseorang yang belajar mungkin memerlukan bantuan keterampilan visual atau verbal agar dapat menarik keuntungan dari praktek atau sumber belajar.
2.    Difusi Inovasi.
Difusi inovasi adalah proses berkomunikasi melalui strategi yang terencana dengan tujuan untuk diadopsi. Tujuan akhir yang ingin dicapai ialah untuk terjadinya perubahan. Tahap pertama dalam proses ini ialah membangkitkan kesadaran melalui desiminasi informasi. Proses tersebut meliputi tahap-tahap seperti kesadaran. minat, pencobaan dan adopsi. Menurut Rogers (1983) langkah-langkah difusi tersebut adalah pengetahuaii, persuasi atau bujukan, keputusan, implementasi, dan konfirmasi. Secara khas, proses tersebut mengikuti model proses komimikasi yang menggunakan alur multi-langkah termasuk komunikasi yang menggunakan "gatekeepers" atau penjaga lalu-lintas informasi. misalnya: sekretaris, perantara. dan "opinion leaders" atau tokoh panutan.
3.    Implementasi dan Pelembagaan.
Implementasi yalah penggunaan bahan dan strategi pembelajaran dalam keadaan yang sesungguhnya (bukan tersimulasikan). Sedangkan pelembagaan ialah penggunaan yang rutin dan pelestarian dari inovasi pembelajaran dalam suatu struktur atau budaya organisasi. Keduanya tergantung pada perubahan individu maupun organisasi. Akan tetapi. tujuan dari implementasi ialah menjamin penggunaan yang benar oleh individu dalam organisasi. Sedang tujuan dari pelembagaan ialah untuk mengintegrasikan inovasi dalam struktur dan kehidupan organisasi. Kegagalan yang silam dari projek Teknologi Pembelajaran seperti komputer dan televisi pembelajaran di sekolah. menekankan pentingnya perencanaan baik untuk perubahan individu maupun untuk perubahan organisasi (Cuban, 1986).
4.    Kebijakan dan Regulasi.
Kebijakan dan regulasi adalah aturan dan tindakan dari masyarakat (atau wakilnya) yang mempengaruhi difusi atau penyebaran dan penggunaan Teknologi Pembel­ajaran. Kebijakan dan peraturan biasanya dihambat oleh permasalah­an etika dan ekonomi. Keduanya timbul sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam maupun luar. Dampak pengaruh tersebut lebih pada praktek dan pada teori. Bidang Teknologi Pembelajaran telah ikut berjasa dalam penentuan kebijakan tentang televisi pembelajaran dan televisi masyarakat. hukum hak cipta, standar peralatan dan program serta pembentukan unit administrasi yang mendukung Teknologi Pembelajaran.

D.    Kawasan pengelolaan
Konsep pengelolaan merupakan bagian integral dalam bidang teknologi Pembelajaran dan dari peran kebanyakan para teknolog pembelajaran. Secara perorangan tiap ahli dalam bidang ini dituntut untuk dapat memberikan pelayanan pengelolaan dalam berbagai latar. seorang teknolog pembelajaran mungkin terlibat dalam usaha pengelolaan projek pengembangan pembelajaran atau pengelolaan pusat media sekolah. Tujuan yang sesungguhnya dari pengelolaan kasus demi kasus dapat sangat bervariasi, namun keterampilan pengelolaan yang mendasarinya relatif tetap sama apapun kasusnya.
Kawasan pengelolaan semula berasal dari administrasi pusat media, program media dan pelayanan media Pembauran perpustakaan dengan program media membuahkan pusat dan ahli perpustakaan media sekolah. Program-program media sekolah ini menggabungkan bahan cetak dan non-cetak sehingga timbul peningkatan penggunaan sumber-sumber teknologikal dalam kurikulum. Pada tahun 1976 Chisholm dan Ely menulis buku Media Personnel in Education: A Competency Approach yang menekankan bahwa administrasi program media memegang peran sentral dalam khasanah teknologi pembelajaran. Definisi AECT tahun 1977 membagi fungsi pengelolaan dalam pengelolaan organisasi dan pengelolaan personil, seperti halnya yang dilakukan oleh para administrator dari program dan pusat media.
Pengelolaan meliputi pengendalian Teknologi Pembelajaran ilalui perencanaan. pengorganisasian. pengkoordinasian dan supervisi. Pengelolaan biasanya merupakan hasil dari penerapan atu sistem nilai. Kerumitan dalam mengelola berbagai macam sumber, personil, usaha desain maupun pengembangan akan semakin meningkat dengan membesarnya usaha dari sebuah sekolah atau bagian kantor yang kecil menjadi kegiatan pembelajaran berskala nasional atau menjadi perusahaan multi-nasional dengan skala global. terlepas dari besamya program atau proyek Teknologi Pembelajaran yang ditangani. salah satu kunci keberhasilan yang esensial adalah pengelolaan. Perubahan jarang terjadi hanya pada tingkat pembelajaran yang mikro. Untuk menjamin keberhasilan dari tiap intervensi mbelajaran, proses perubahan perilaku kognitif maupun afektif harus terjadi bersamaan dengan perubahan pada tingkat makro. Para anager program dan projek Teknologi Pembelajaran yang mencari mber tentang cara bagaimana merencanakan dan mengelola berbagai model perubahan pada tingkat makro, pada umumnya akan mengalami kekecewaan. (Greer, 1992; Hannum dan Hansen, 1989; smiszowski, 1981 ).
Secara singkat. ada empat kategori dalam kawasan pengelolaan : (1) pengelolaan proyek, (2) pengelolaan sumber, (3) pengelolaan sistem penyampaian dan (4) pengelolaan informasi. Di dalam setiap subkategori tersebut ada seperangkat tugas yang sama yang harus lakukan. Organisasi harus dimantapkan, personil harus diangkat dan supervisi. dana harus direncanakan dan dipertanggungjawabkan, dan fasilitas harus dikembangkan serta dipelihara.
1.    Pengelolaan Proyek.
Pengelolaan proyek meliputi perenca­naan, monitoring dan pengendalian proyek desain dan pengembangan. Menurut Rotliwell dan Kazanas (1992), pengelolaan proyek berbeda dengan pengelolaan tradisional, yaitu organisasi garis & staf (line and staff management). Perbedaan itu disebabkan karena:
staf proyek mungkin baru, yaitu anggota tim untuk jangka pendek:
pengelola proyek biasanya tidak mempunyai wewenang jangka panjang atas orang karena sifat tugas mereka yang sementara, dan
pengelola proyek memiliki kendali dan fieksibilitas yang lebih'luas dari yang biasa terdapat pada organisasi garis dan staf.
Para pengelola proyek bertanggung jawab atas perencanaan. penjadwalan dan pengendalian fungsi desain pembelajaran atau jenis-jenis projek yang lain. Mereka harus melakukan negosiasi. menyusun anggaran, membentuk sistem pemantauan informasi, serta menilai kemajuan. Peran pengelolaan projek biasanya berhubungan dengan cara mengatasi ancaman projek dan memberi saran perubahan ke dalam.
2.    Pengelolaan Sumber.
Pengelolaan sumber mencakup peren­canaan, pemantauan, dan pengendalian sistem pendukung dan pelayanan sumber: Pengelolaan sumber sangat penting artinya karena mengatur pengendalian akses. Pengertian sumber dapat mencakup personil, keuangan, bahan baku, waktu, fasilitas, dan sumber pembel­ajaran. Sumber pembelajaran mencakup semua teknologi yang telah dijelaskan  pada kawasan  pengembangan.   Efektivtias biaya  dan justifikasi belajar yang efektif merupakan dua karakteristik penting dari pengelolaan sumber.
3.    Pengelolaan Sistem Penyampaian.
Pengelolaan sistem penyampaian meliputi perencanaan, pemantauan, pengendalian "cara bagaimana distribusi bahan pembelajaran diorganisasikan ... Hal tersebut merupakan suatu gabungan medium dan cara penggunaan yang dipakai dalam menyajikan informasi pembelajaran kepada pebelajar" (Ellington dan Harris, 1986 : 47). Contoh penge­lolaan seperti itu terdapat pada proyek belajar jarak jauh di National Technological University dan Nova University. Pengelolaan sistem penyampaian memberikan perhatian pada permasalahan produk seperti persyaratan perangkat keras/lunak dan dukungan teknis lerhadap pengguna maupun operator. Pengelolaan ini juga memperhatikan permasalahan proses seperti pedoman bagi desainer dan instruktor atau pelatih. Dari sekian banyak parameter ini keputusan harus diambil berdasarkan pada kesesuaian karakteristik teknologi dengan tujuan pembelajaran. Keputusan tentang pengelolaan sistem penyampaian ini sering tergantung pada sistem pengelolaan sumber.
4.    Pengelolaan informasi.
Pengelolaan informasi meliputi pe­rencanaan. pemantauan dan pengendalian cara penyimpanan, pengiriman/pemindahan atau pemrosesan informasi dalam rangka tersedianya sumber untuk kegiatan belajar. Cukup banyak tumpang-tindih terjadi antara penyimpanan, pengiriman/pemindahan dan pemrosesan karena fungsi yang satu sering diperlukan untuk melakukan fungsi yang lain. Teknologi yang dijelaskan pada kawasan pengembangan merupakan metoda penyimpanan dan penyampaian. Penyiaran atau transfer informasi sering terjadi melalui teknologi terpadu. "Pemrosesan adalah pengubahan beberapa aspek informasi [melalui program komputer] ... agar lebih sesuai dengan tujuan tertentu" (Lindenmayer, 1988, hal. 317). Pengelolaan informasi penting un­tuk memberikan akses dan keakraban pemakai. Pentingnya penge­lolaan informasi terletak pada potensinya untuk mengadakan revolusi kurikulum dan aplikasi desain pembelajaran Pertumbuhan ilmu maupun industri pengetahuan di luar yang saat ini dapat diakomodasikan menunjukkan bahwa hal ini merupakan bidang yang sangat penting bagi Teknologi Pembelajaran di masa datang. Pengelolaan system penyimpanan   informasi   untuk  tujuan  pembelajaran  tetap   akan terupakan komponen penting dari bidang Teknologi Pembelajaran.

E.    Kawasan penilaian
Penilaian ialah proses penentuan memadai tidabiya pembel-ajaran dan belajar. Penilaian mulai dengan analisis masalah. Ini merupakan langkah awal yang penting dalam pengembangan dan penilaian pembelajaran karena tujuan dan hambatan dijelaskan pada langkah ini.
Dalam kawasan penilaian dibedakan pengertian antara penilaian program, penilaian projek dan penilaian produk. Masing-masing merupakan jenis penilaian penting untuk perancang pem­belajaran, seperti halnya penilaian fonnatif dan penilaian sumatif. Menurut Worthen dan Sanders (1987):
Penilaian merupakan penenluan   nilai dari suatu barang.   Dalam pendi­dikan,  hal  itu  berarti  penentuan  secara  formal  mengenai  kualitas. efektivitas atau nilai dari suatu program, produk, proyek, proses, tujuan, atau kurikulum. Penilaian menggunakan metoda inkuiri dan pertimbangan, termasuk : (1) penentuan standar untuk mempertimbangkan kualitas dan menentukan apakah standar tersebut harus bersifat relatif atau absolut; (2) pengumpulan informasi; dan (3) menerapkan penggunaan standar untuk menentukan kualitas (h. 22-23).
Seperti terlihat pada konsep dasar dari kata 'penilaian', kunci konsep tersebut terletak pada penentuan 'nilai'. Bahwa kegiatan tersebut dilakukan secara teiiti, akurat, dan sistematis merupakan urusan bersama antara evaluator dan klien.
Suatu cara yang penting untuk membedakan penilaian ialah dengan mengklasifikasikannya menurut obyek yang sedang dinilai. Pembedaan yang lazim ialah menurut program, proyek, dan produk bahan. Suatu komisi "The Joint Committee on Standards for Educational Evaluation" (Komisi Gabungan Standar Penilaian Pendidikan) pada tahun 1981 memberikan definisi untuk masing-masingjenis penilaian ini sebagai berikut:
Penilaian program -. evaluasi yang menaksir kegialan pendidikan yang memberikan pelayanan secara berkesinambungan dan sering terlibat dalam pern usunan kurikulum. Sebagai conloh misalnya penilaian untuk program membaca dalam suaru wilayah persekolahan, program pendidikan khusus dari pemerintah daerah, atau suatu program pendidikan berkelanjutan dari suatu universitas (h. 12).
Penilaian proyek - evaluasi untuk menaksir kegiatan yang dibiayai secara khusus guna melnkukan suaru rugas tertentu dalam suatu kurun waklu. Sebagai conloh, suatu lokakarya liga hari mengenai lujuan perilaku, atau suatu proyek demontrasi pendidikan karir yang lamanya tiga tahuan. Kunci perbedaan antara program dan proyek ialah bahwa program diharapkan berlangsung dalam waktu yang tidak terbatas, sedangkan proyek biasanya diharapkan berjangka pendek. Proyek yang dilembagakan dr.lam kenyataannya menjadi program (h. 12. 13).
Penilaian bahan (produk pembelajaran) - evaluasi yang menaksir kebaikan atau manfaat isi yang menyangkut benda-benda fisik, termasuk buku, pedoman kiirikulum, film, pita rekaman, dan produk pembelajaran lainnya yang dapat dipegang. (h. 13)
Dalam kawasan penilaian terdapat empat subkawasan : (1) analisis masalah, (2) pengukuran acuan-patokan, (3) penilaian fomiatif dan penilaian sumatif. Masing-masing subkawasan ini akan dibalias berikut ini.
1.    Analisis Masalah.
Analisis masalah mencakup cara penen-tuan sifat dan parameter masalah dengan menggunakan strategi pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan. Telah lama para evaluator yang piawai berargumentasi bahwa penilaian yang seksama mulai saat program tersebut dirumuskan dan direncanakan. Bagai-manapun baiknya anjuran orang, program yang diarahkan pada tujuan yang tidak/kurang dapat diterima akan dinilai gagal memenuhi kebutuhan.
Jadi, kegiatan penilaian meliputi identifikasi kebutuhan. penentuan sejauh mana masalahnya dapat diklasifikasikan sebagai pembelajaran, identifikasi hambatan, sumber dan karakteristik pebelajar, serta penentuan tujuan dan prioritas (Seels and Glasgow, 1990). Kebutuhan telah dirumuskan sebagai "jurang antara 'apa yang ada' dan 'apa yang seharusnya ada dalam pengertian hasil" (Kaufman, 1972). Sedangkan penilaian kebutuhan adalah suatu studi yang sistematis mengenai kebutuhan ini. Di sini perlu ada pembedaan yang tegas. Analisis kebutuhan diadakan bukannya untuk melaksanakan penilaian yang lebih dapat dipertahankan saat proyek berjalan, melainkan untuk perencanaan program yang lebih memadai.
2.    Pengukuran Acuan-patokan (PAP).
Pengukuran acuan-patokan meliputi teknik-teknik untuk menentukan kemampuan pebelajar menguasai materi yang telah ditentukan sebelumnya. Peng­ukuran acuan-patokan, yang sering berupa tes, juga dapat disebut acuan-isi, acuan-tuiuan, atau acuan-kawasan. Sebab, kriteria tentang cukup tidakma hasil belajar ditentukan oleh seberapa jauh pebelajar telah mencapai tujuan. PAP memberikan informasi tentang penguasaan seseorang mengenai pengetahuan, sikap, atau keterampilan yang berkaitan dengan tujuan. Keberhasilan dalam tes acuan-patokan berarti dapat melaksanakan kemarnpuan tertentu. Biasanya ditentukan skor minimal, dan mereka yang dapat mencapai atau melampaui skor tersebut dinyatakan lulus tes. Balas jumlah pengikut tes yang dapat lulus atau dapat mengerjakan tes dengan baik tidak ada, karena PAP tidak membandingkan antara pengikut tes.
Pengukuran acuan-patokan memberitahukan pada para siswa seberapa jauh mereka dapat mencapai standar yang ditentukan. Soal-soal acuan-patokan digunakan pada seluruh proses pembelajaran untuk mengukur apakah prasyarat-prasyarat telah dikuasai. Peng­ukuran acuan patokan dapat dipakai untuk menentukan apakah tujuan utama telah dicapai (Seels dan Glasgow, 1990). Para desainer kurikulum dan pendidik lainnya tertarik pada pengukuran acuan-patokan ini sebelum Mager menjelaskan tujuan perilaku (Tyler, 1990). Kontributor pertama terhadap aplikasi pengukuran acuan-patokan dalam Teknologi Pembelajaran berasal dari gerakan pembelajaran terprogram termasuk James Popham dan Eva Baker (Baker, 1972; Popham, 1973). Kontributor berikutnya yalah Sharon Shrock dan William Coscarelli (Shrock dan Coscarelli, 1989).
3.    Penilaian Formatif dan Sumatif.
Penildian formatif berkaitan dengan pengumpulan informasi tentang kecukupan dan penggunaan informasi ini sebagai dasar pengembangan selanjutnya. Sedangkan penilaian sumatif berkaitan dengan pengumpulan infor­masi tentang kecukupan untuk pengambilan keputusan dalam hal pemanfaatan.
Penekanan baik untuk penilaian formatif pada tahap-tahap awal dari pengembangan produk, maupun penilaian sumatif setelah kegiatan pembelajaran merupakan perhatian utama dari para teknolog pembelajaran. Perbedaan kedua jenis penilaian ini patama kali dikemukakan oleh Scriven(1967); meskipun Cambre telah menelusuri kegiatan-kegiatan sejenis ini sampat tahun 1920an dan 1930an dalam pengembangan pembdajaran mdalui film dan radio (Cambre, yang dikutip dalam Flagg, 1990).
Menurut Michael Scriven (1967): Penilaian formatif dilaksanakan pada vvaktu pengembangan atau perbaikan program atau produk (atau orang, dsb.). Penilaian ini dilaksana­kan untuk keperluan staf dalam lembaga program dan biasanya tetap bersifat intern; akan tetapi penilaian ini dapat dilaksanakan oleh evaluator dalam atau luar atau (lebih baik lagi) kombinasi. Perbedaan antara formatif dan sumatif telah dirangkum dengan baik dalam sebuah kiasan dari Bob Slake "Apabila juru masak mencicipi sup, hal tersebul formatif; apabila para tamu mencicipi sup tersebut. bal tersebut sumatif (h. 56).
Penilaian sumatif dilaksanakan setelah selesai clan bagi kepentingan pihak luar atau para pengambil keputusan (sebagai contoh: lembaga penyandang dana, atau calon pengguna, walaupun hal tersebut dapat dilaksanakan baik oleh evaluator dalam atau dalam untuk gabungan. Untuk alasan kredibiltas. lebih baik evaluator luar dilibatkan daripada sekedar merupakan penilaian formatif Hendakn\a jangan dikacaukan dengan penilaian hasil (outcome) yang sekedar menilai basil, bukannya proses — hal tersebut dapat berupa baik formatif maupun sumatif (li. 130).
Dalam pengembangan produk, penggunaan penilaian formatif  dan sumatif  khususnya penting pada berbagai tahap. Pada tahap-tahap awal pengembangan (tes tahap alpha), banyak macam perubahan dapat terjadi, dan (usaha) penilaian formatif dapat mempunyai jangkauan yang luas. Saat produk dikembangkan lebih lanjut, balikan jadi lebih khusus (tes beta), dan rentang alternatif penibalian yang iapat diterima jadi lebih terbatas. Hal ini merupakan dua buah contoh penilaian formatif. Ketika akhimya produk dilempar ke pasaran dan dinilai oleh pihak luar, yang bertindak memberikan "laporan konsumen", tujuan penilaian jelas sumatif yaitu membantu pembeli memilih suatu produk secara bijak. Pada taliap ini. tanpa penibalian otal atas produk yang bersangkutan, revisi tidak mungkin dapat diadakan. Jadi, dalam pengembangan suatu produk, penggunaan peni-aian formatif dan sumatif bervariasi sesuai dengan tahap perkem-:angannya dan bahwa rentang saran yang dapat diterima dalam suatu kurun waktu menjadi semakin terbatas.
Metoda yang digunakan dalam penilaian fonnatif berbeda dengan penilaian sumatif.  Penilaian formatif mengandalkan pada kajian teknis dan tutorial. uji-coba dalam kelompok kecil atau kelompok besar. Metoda pengumpulan data sering bersifat informal, seperti observasi, wawancara, dan tes ringkas. Sebaliknya, penilaian sumatif memerlukan prosedur dan metoda pengumpulan data yang lebih formal. Penilaian sumatif sering menggunakan studi kelompok komparatif dalam desain kuasi eksperimental.
Keseimbangan antara pengukuran kuantitatif dan kualitatif perlu mendapat perhatian yang cukup dalam penilaian formatif maupun sumatif. Pengukuran kuantitatif  lazim berhubungan dengan angka-angka dan biasanya bekerja menurut gagasan pengukuran obyektif. Pengukuran kualitatif lebih menekankan pada aspek-aspek subyektif dan bersifat pengkajian proyek. Hasil pengukuran kualitatif biasanya dilaporkan dalam bentuk uraian verbal.


Post: http://radenmasslamet.blogspot.com/2010/10/definisi-teknologi-pendidikan-1994.html

AECT 2004

AECT 2004 ( AECT Definition and Terminologi Committee document #MM4.0 ), Teknologi Pendidikan adalah :

Educational technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processes and resources.(Teknologi Pembelajaran adalah studi dan etika praktek untuk memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengaturan proses dan sumber daya teknologi.)

Definisi ini mengandung beberapa elemen kunci,yaitu :
  • Studi. Pemahaman teoritis, sebagaimana dalam praktek teknologi pendidikan memerlukan konstruksi dan perbaikan pengetahuan yang berkelanjutan melalui penelitian dan refleksi praktek, yang tercakup dalam istilah studi.
  • Etika Praktek. Mengacu kepada standard etika praktis sebagaimana didefinisikan oleh Komite Etika AECT mengenai apa yang harus dilakukan oleh praktisi Teknologi Pendidikan.
  • Fasilitasi. Pergeseran paradigma kearah kepemilikan dan tanggung jawab pembelajar yang lebih besar telah merubah peran teknologi dari pengontrol menjadi pem-fasilitasi.
  • Pembelajaran. Pengertian pembelajaran saat ini sudah berubah dari beberapa puluh tahun yang lalu. Pembelajaran selain berkenaan dengan ingatan juga berkenaan dengan pemahaman.
  • Peningkatan. Peningkatan berkenaan dengan perbaikan produk, yang menyebabkan pembelajaran lebih efektif, perubahan dalam kapabilitas, yang membawa dampak pada aplikasi dunia nyata.
  • Kinerja. Kinerja berkenaan dengan kesanggupan pembelajar untuk menggunakan dan mengaplikasikan kemampuan yang baru didapatkannya ( http://kupukuputp.blogspot.com/2008/12/definisi-aect-2004-teknologi-pendidikan.html)

Football News

 

© Copyright NEGERI KOPI 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.